Tinggalkan Beban Bawalah Bekal Perjalanan
Disebutkan dalam hadits Muslim yang diriwayatkan dari Jarir radhiyallahu
‘anhu, bahwa suatu kali Nabi shallallahu alaihi wasallam kedatangan
serombongan kaum dari Mudhar. Kebanyakan mereka telanjang kaki dan
berpakaian compang camping sembari menyandang pedang. Tampak dari wajah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menaruh belas kasihan
karena kefakiran mereka. Usai shalat, Nabi shallallahu alaihi wasallam
berkhuthbah membacakan beberapa ayat al-Qur’an, hingga beliau baca
firman Allah dalam surat al-Hasyr:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr: 18).
Seseorang telah bersedekah dengan dinarnya, dirhamnya, pakaiannya,
takaran sha’ kurmanya, sampai beliau berkata, “walaupun dengan separuh
kurma.”
Jarir berkata, “Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak
genggaman tangannya, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu
memegangnya, bahkan tidak mampu. Kemudian berturut-turut orang
bersedekah sampai aku melihat banyak makanan dan pakaian seperti dua
bukit, dan kulihat wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersinar
seperti emas.” (HR. Muslim).
Begitulah antusias para sahabat untuk menyiapkan bekal akhiratnya.
Mereka paham betul apa yang Allah kehendaki dengan seruan itu. Ibnu
Katsier menafsirkan ayat tersebut, “Yakni hitunglah (amal) dirimu
sebelum amal kalian nanti dihitung, dan lihatlah perbekalan amal shalih
apa yang telah kamu siapakan untuk tempat kembalimu di akhirat, juga
saat perjumpaanmu dengan Rabbmu.”
Membawa Bekal, Membuang Beban
Begitulah semestinya perilaku hamba yang menyadari bahwa dirinya
berjalan menuju Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di
dunia. Ia selalu memeriksa perbekalan, menambal yang kurang dan menambah
segala hal yang berfaedah. Inilah yang dibahasakan oleh Ibnu Qayyim
dalam Madarijus Saalikin dengan muhasabah. Suatu fase yang harus
dilakukan para musafir ilallah, baik di awal perjalanan atau di
sepanjang perjalanan.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa inti muhasabah ada dua;
hendaknya ia jeli memeriksa apa yang menjadi haknya dan apa yang menjadi
kewajibannya. Sehingga dia mengetahui apa yang menjadi bagiannya kelak
di akhirat ketika dia menjalankan kewajiban dan tuntutannya. Maka
tatkala seseorang menginginkan pahala, keridhaan dan kenikmatan akhirat,
ia harus memeriksa dan menyiapkan segala hal di dunia sebagai
konsekuensinya.
Pada fase ini, bahkan masih banyak orang yang belum mampu membedakan
hal-hal yang berfaedah sebagai bekal dan mana pula yang sejatinya
menjadi beban. Ibarat seorang musafir yang memenuhi pundi-pundinya
dengan kerikil, yang tidak berfaedah sedikitpun untuk meringankan
perjalanan, justru menjadi beban yang memberatkan langkahnya. Begitulah
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menggambarkan orang-orang yang salah dalam
mengambil bekal akhirat. Yakni orang yang beramal dengan suatu amal yang
dianggapnya sebagai keshalihan, namun tidak memenuhi kriteria amal
shalih; ikhlas dan mengikuti sunnah.
Keadaan mereka digambarkan oleh
Allah dalam firman-Nya:
“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang
yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (QS. Al-Kahfi: 104).
Mereka melakukan perbuatan yang disangka baik, padahal itu tidak
dianggap baik oleh Allah. Maka mereka salah dalam mengidentifikasi
kebaikan dan keburukan. Atau sebagai musafir, mereka telah salah dalam
memilih bekal. Karena apa yang dianggapnya sebagai bekal justru menjadi
beban baginya dalam perjalanan akhiratnya.
Besar kemungkinan mereka salah mengambil barometer. Misalnya, kebaikan
dalam anggapan mereka adalah apa yang dianggap baik oleh orang
kebanyakan. Dia berbuat sebagaimana orang banyak berbuat, dia
berpendapat dengan pendapat mayoritas umumnya manusia, dan perilaku
kebanyakan manusia ini kemudian dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran.
Padahal, betapapun sesuatu itu banyak digandrungi manusia, disukai dan
dianggap baik oleh mereka, itu sama sekali bukan indikasi kebaikan atau
kebenaran. Dan suatu keburukan tidak akan berubah statusnya menjadi
kebaikan meski sudah jamak dilakukan kebanyakan orang. Allah berfirman:
“Katakanlah, ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu’.” (QS al-Maidah: 100).
Ada pula yang menganggap baik segala hal yang menjadi adat istiadat
peninggalan nenek moyang. Segalanya dianggap tradisi luhur yang harus
dijaga, meski secara syariat tak sedikit yang masuk dalam kategori
kesyirikan. Betapa banyak orang yang berbangga dan merasa bisa
mengumpulkan pahala dengan melestarikan tradisi nenek moyang, meski
bertentangan dengan syariat. Hingga orang-orang yang fanatik terhadapnya
menjadikan adat sebagai pilihan harga mati. Mereka mengambil sikap
seperti yang Allah sebutkan:
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan
Allah dan mengikuti Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa
yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah mereka itu
akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS.
al-Maidah: 104).
Inilah orang yang memperberat perjalanannya dengan beban, padahal mereka mengira telah membawa banyak bekal.
Yang lebih banyak lagi terjerumus dalam kesalahan adalah ketika
seseorang menganggap bid’ah sebagai sesuatu yang bernilai pahala. Dengan
tampilan dan kemasan yang tampak mirip dengan syariat dalam pandangan
orang awam, bid’ah menjadi amal favorit kebanyakan orang. Padahal,
seandainya habis umur seseorang untuk mencukupkan diri dengan yang
disunnahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, niscaya umur telah
habis dan masih banyak sunnah yang tertinggal. Lantas bagaimana bisa
seseorang lebih memilih bid’ah yang tidak diajarkan daripada sunnah?
Inilah kenapa Ibnu al-Jauzi mengatakan, “Sesungguhnya bid’ah lebih
disukai setan daripada maksiat (dalam versi lain ‘dosa besar’), karena
pelaku maksiat mudah diharapkan taubatnya, sedangkan pelaku bid’ah sulit
diharapkan taubatnya.” Sulit, karena mereka tak menyadari dirinya
berdosa, bahkan merasa telah mengumpulkan pahala.
Begitulah muhasabah, menuntut kita untuk selektif dalam memilih bekal
perjalanan. Ikut-ikutan jelas bukan menjadi jurus yang bisa diandalkan.
Tetapi belajar Islam lebih detil, peka terhadap penyimpangan dan jeli
dalam membedakan. Tidak sebagaimana ‘haathibul lail’ (pencari kayu bakar
di malam hari) yang tidak membedakan apa-apa yang diambilnya, apakah
kayu kering, kayu basah, kayu berduri, atau bahkan ular turut pula
diambilnya.
Hitung Dahulu, Perbaiki Kemudian
Muhasabah akan membuat seseorang menyadari aib dan kekurangan jiwa. Dan
barang siapa tidak mengetahui aib jiwanya, ia tidak dapat
membersihkannya. Dan barang siapa tidak mengetahui kekurangan dirinya,
niscaya ia tak akan mampu menutup dan menyempurnakannya.
Tak ada waktu yang paling tepat untuk mengoreksi dan memperbaiki,
kecuali waktu ‘sekarang’. Karena kita tidak tahu kapan datangnya ajal.
Abu Musa radiyallahu’anhu mengatakan:
حَاسِبْ نَفْسَكَ فِي الرَّخَاءِ قَبْلَ حِسَابِ الشِّدَّةِ
“Bermuhasabahlah pada dirimu dalam keadaan lapang, sebelum hisab di saat yang susah.” (Ghidza’ul Albab: II/350).
Tradisi inilah yang menjadi khas orang mukmin yang takwa dengan para
pendosa. Hasan al-Bashri rahimahulloh mengatakan, “Engkau tidak akan
menjumpai seorang mukmin melainkan dia akan mengintrospeksi dirinya,
‘Wahai jiwaku, apa yang hendak kau lakukan? Wahai jiwaku, apa yang
hendak engkau makan? Apa yang hendak engkau minum?’ Sementara itu,
seorang pendosa akan mengalir begitu saja tanpa mengintrospeksi
dirinya.” Beliau rahimahulloh juga mengatakan, “Sesungguhnya seorang
hamba tetap dalam keadaan baik selama masih ada penasihat dari jiwanya
dan muhasabah selalu menjadi perhatiannya.”
Tatkala seseorang telah menyadari kekurangan diri, maka mudah baginya
untuk memperbaiki diri. Faktanya, seringkali seseorang telah merasa
cukup perbekalannya, banyak pahala amal shalihnya dan sedikit
dosa-dosanya. Mungkin ia hanya membandingkan dengan orang lain yang ia
lihat di sekelilingnya, lalu merasa lebih baik. Ia tidak melihat
bagaimana seharusnya amal dilakukan secara ideal, dan seperti apa
generasi terbaik umat ini telah menjalankan.
Atau bisa jadi pula ia lupa membandingkan antara kenikmatan yang hendak
ia raih, dengan ikhtiar yang telah ia usahakan. Ia juga lupa
membandingkan, antara besarnya bahaya yang akan menimpanya, dengan usaha
yang telah ia jalankan. Adapun orang yang jeli perhitungannya, tentu
akan mendapati banyak kekurangan di segala lini.
Alangkah jeli Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata, “Jika kamu
khawatir terjangkiti ujub atau merasa banyak amal, maka ingatlah tiga
hal; ridha siapa yang kamu cari, kenikmatan manakah yang kamu cari, dan
dari bahaya manakah kamu hendak lari. Maka barang siapa merenungkan tiga
hal tersebut, niscaya dia akan memandang remeh apa yang telah
dicapainya.”
Pertanyaan pertama, tentu akan kita jawab bahwa ridha Allah yang kita
cari. Tapi apakah setiap langkah, gerak-gerik kita, diam dan bicara kita
menunjukkan sebagai orang yang menjadikan ridha Allah sebagai
tujuannya? Bandingkanlah dengan usaha dan pengorbanan kita saat ingin
mendapatkan ridha manusia; istri, anak, atasan, pemimpin, penguasa dan,
manusia seluruhnya. Niscaya kita akan menyadari, bahwa apa yang kita
lakukan untuk keridhaan manusia dan keridhaan nafsu masih lebih dominan.
Pertanyaan kedua tentu akan kita jawab bahwa kenikmatan jannahlah yang
kita cari. Tapi cobalah membandingkan; kerja kita untuk dunia dan kerja
kita untuk akhirat, manakah yang lebih menonjol dari sisi kualitas
maupun kuantitasnya? Padahal kerja akhirat kita untuk kenikmatan tiada
tara dan tak ada habisnya.
Pertanyaan ketiga, tentu kita akan menjawab bahwa kita lari dari bahaya
neraka. Lagi-lagi kita perlu mengoreksi secara jujur. Seberapa gigih
usaha kita dalam menghindari neraka. Bandingkanlah dengan usaha kita
tatkala takut dan lari dari penyakit, lari dari kemiskinan, atau ketika
takut akan hilangnya kehormatan di mata manusia. Dengan memikirkan tiga
hal itu, kita akan sadar betapa amal kita belum seberapa. Wallahul
muwaffiq. (Abu Umar Abdillah).
sumber : http://www.arrisalah.net/2013/07/11/tinggalkan-beban-bawalah-bekal-perjalanan/
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr: 18).
Seseorang telah bersedekah dengan dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha’ kurmanya, sampai beliau berkata, “walaupun dengan separuh kurma.”
Seseorang telah bersedekah dengan dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha’ kurmanya, sampai beliau berkata, “walaupun dengan separuh kurma.”
Jarir berkata, “Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak genggaman tangannya, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu. Kemudian berturut-turut orang bersedekah sampai aku melihat banyak makanan dan pakaian seperti dua bukit, dan kulihat wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersinar seperti emas.” (HR. Muslim).
Begitulah antusias para sahabat untuk menyiapkan bekal akhiratnya. Mereka paham betul apa yang Allah kehendaki dengan seruan itu. Ibnu Katsier menafsirkan ayat tersebut, “Yakni hitunglah (amal) dirimu sebelum amal kalian nanti dihitung, dan lihatlah perbekalan amal shalih apa yang telah kamu siapakan untuk tempat kembalimu di akhirat, juga saat perjumpaanmu dengan Rabbmu.”
Membawa Bekal, Membuang Beban
Begitulah semestinya perilaku hamba yang menyadari bahwa dirinya berjalan menuju Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Ia selalu memeriksa perbekalan, menambal yang kurang dan menambah segala hal yang berfaedah. Inilah yang dibahasakan oleh Ibnu Qayyim dalam Madarijus Saalikin dengan muhasabah. Suatu fase yang harus dilakukan para musafir ilallah, baik di awal perjalanan atau di sepanjang perjalanan.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa inti muhasabah ada dua; hendaknya ia jeli memeriksa apa yang menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya. Sehingga dia mengetahui apa yang menjadi bagiannya kelak di akhirat ketika dia menjalankan kewajiban dan tuntutannya. Maka tatkala seseorang menginginkan pahala, keridhaan dan kenikmatan akhirat, ia harus memeriksa dan menyiapkan segala hal di dunia sebagai konsekuensinya.
Pada fase ini, bahkan masih banyak orang yang belum mampu membedakan hal-hal yang berfaedah sebagai bekal dan mana pula yang sejatinya menjadi beban. Ibarat seorang musafir yang memenuhi pundi-pundinya dengan kerikil, yang tidak berfaedah sedikitpun untuk meringankan perjalanan, justru menjadi beban yang memberatkan langkahnya. Begitulah Ibnul Qayyim al-Jauziyah menggambarkan orang-orang yang salah dalam mengambil bekal akhirat. Yakni orang yang beramal dengan suatu amal yang dianggapnya sebagai keshalihan, namun tidak memenuhi kriteria amal shalih; ikhlas dan mengikuti sunnah.
Keadaan mereka digambarkan oleh
Allah dalam firman-Nya:
“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (QS. Al-Kahfi: 104).
“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (QS. Al-Kahfi: 104).
Mereka melakukan perbuatan yang disangka baik, padahal itu tidak dianggap baik oleh Allah. Maka mereka salah dalam mengidentifikasi kebaikan dan keburukan. Atau sebagai musafir, mereka telah salah dalam memilih bekal. Karena apa yang dianggapnya sebagai bekal justru menjadi beban baginya dalam perjalanan akhiratnya.
Besar kemungkinan mereka salah mengambil barometer. Misalnya, kebaikan dalam anggapan mereka adalah apa yang dianggap baik oleh orang kebanyakan. Dia berbuat sebagaimana orang banyak berbuat, dia berpendapat dengan pendapat mayoritas umumnya manusia, dan perilaku kebanyakan manusia ini kemudian dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran.
Padahal, betapapun sesuatu itu banyak digandrungi manusia, disukai dan dianggap baik oleh mereka, itu sama sekali bukan indikasi kebaikan atau kebenaran. Dan suatu keburukan tidak akan berubah statusnya menjadi kebaikan meski sudah jamak dilakukan kebanyakan orang. Allah berfirman:
“Katakanlah, ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu’.” (QS al-Maidah: 100).
Ada pula yang menganggap baik segala hal yang menjadi adat istiadat peninggalan nenek moyang. Segalanya dianggap tradisi luhur yang harus dijaga, meski secara syariat tak sedikit yang masuk dalam kategori kesyirikan. Betapa banyak orang yang berbangga dan merasa bisa mengumpulkan pahala dengan melestarikan tradisi nenek moyang, meski bertentangan dengan syariat. Hingga orang-orang yang fanatik terhadapnya menjadikan adat sebagai pilihan harga mati. Mereka mengambil sikap seperti yang Allah sebutkan:
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. al-Maidah: 104).
Inilah orang yang memperberat perjalanannya dengan beban, padahal mereka mengira telah membawa banyak bekal.
Yang lebih banyak lagi terjerumus dalam kesalahan adalah ketika seseorang menganggap bid’ah sebagai sesuatu yang bernilai pahala. Dengan tampilan dan kemasan yang tampak mirip dengan syariat dalam pandangan orang awam, bid’ah menjadi amal favorit kebanyakan orang. Padahal, seandainya habis umur seseorang untuk mencukupkan diri dengan yang disunnahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, niscaya umur telah habis dan masih banyak sunnah yang tertinggal. Lantas bagaimana bisa seseorang lebih memilih bid’ah yang tidak diajarkan daripada sunnah?
Inilah kenapa Ibnu al-Jauzi mengatakan, “Sesungguhnya bid’ah lebih disukai setan daripada maksiat (dalam versi lain ‘dosa besar’), karena pelaku maksiat mudah diharapkan taubatnya, sedangkan pelaku bid’ah sulit diharapkan taubatnya.” Sulit, karena mereka tak menyadari dirinya berdosa, bahkan merasa telah mengumpulkan pahala.
Begitulah muhasabah, menuntut kita untuk selektif dalam memilih bekal perjalanan. Ikut-ikutan jelas bukan menjadi jurus yang bisa diandalkan. Tetapi belajar Islam lebih detil, peka terhadap penyimpangan dan jeli dalam membedakan. Tidak sebagaimana ‘haathibul lail’ (pencari kayu bakar di malam hari) yang tidak membedakan apa-apa yang diambilnya, apakah kayu kering, kayu basah, kayu berduri, atau bahkan ular turut pula diambilnya.
Hitung Dahulu, Perbaiki Kemudian
Muhasabah akan membuat seseorang menyadari aib dan kekurangan jiwa. Dan barang siapa tidak mengetahui aib jiwanya, ia tidak dapat membersihkannya. Dan barang siapa tidak mengetahui kekurangan dirinya, niscaya ia tak akan mampu menutup dan menyempurnakannya. Tak ada waktu yang paling tepat untuk mengoreksi dan memperbaiki, kecuali waktu ‘sekarang’. Karena kita tidak tahu kapan datangnya ajal.
Muhasabah akan membuat seseorang menyadari aib dan kekurangan jiwa. Dan barang siapa tidak mengetahui aib jiwanya, ia tidak dapat membersihkannya. Dan barang siapa tidak mengetahui kekurangan dirinya, niscaya ia tak akan mampu menutup dan menyempurnakannya. Tak ada waktu yang paling tepat untuk mengoreksi dan memperbaiki, kecuali waktu ‘sekarang’. Karena kita tidak tahu kapan datangnya ajal.
حَاسِبْ نَفْسَكَ فِي الرَّخَاءِ قَبْلَ حِسَابِ الشِّدَّةِ
“Bermuhasabahlah pada dirimu dalam keadaan lapang, sebelum hisab di saat yang susah.” (Ghidza’ul Albab: II/350).Tradisi inilah yang menjadi khas orang mukmin yang takwa dengan para pendosa. Hasan al-Bashri rahimahulloh mengatakan, “Engkau tidak akan menjumpai seorang mukmin melainkan dia akan mengintrospeksi dirinya, ‘Wahai jiwaku, apa yang hendak kau lakukan? Wahai jiwaku, apa yang hendak engkau makan? Apa yang hendak engkau minum?’ Sementara itu, seorang pendosa akan mengalir begitu saja tanpa mengintrospeksi dirinya.” Beliau rahimahulloh juga mengatakan, “Sesungguhnya seorang hamba tetap dalam keadaan baik selama masih ada penasihat dari jiwanya dan muhasabah selalu menjadi perhatiannya.”
Tatkala seseorang telah menyadari kekurangan diri, maka mudah baginya untuk memperbaiki diri. Faktanya, seringkali seseorang telah merasa cukup perbekalannya, banyak pahala amal shalihnya dan sedikit dosa-dosanya. Mungkin ia hanya membandingkan dengan orang lain yang ia lihat di sekelilingnya, lalu merasa lebih baik. Ia tidak melihat bagaimana seharusnya amal dilakukan secara ideal, dan seperti apa generasi terbaik umat ini telah menjalankan.
Atau bisa jadi pula ia lupa membandingkan antara kenikmatan yang hendak ia raih, dengan ikhtiar yang telah ia usahakan. Ia juga lupa membandingkan, antara besarnya bahaya yang akan menimpanya, dengan usaha yang telah ia jalankan. Adapun orang yang jeli perhitungannya, tentu akan mendapati banyak kekurangan di segala lini.
Alangkah jeli Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata, “Jika kamu khawatir terjangkiti ujub atau merasa banyak amal, maka ingatlah tiga hal; ridha siapa yang kamu cari, kenikmatan manakah yang kamu cari, dan dari bahaya manakah kamu hendak lari. Maka barang siapa merenungkan tiga hal tersebut, niscaya dia akan memandang remeh apa yang telah dicapainya.”
Pertanyaan pertama, tentu akan kita jawab bahwa ridha Allah yang kita cari. Tapi apakah setiap langkah, gerak-gerik kita, diam dan bicara kita menunjukkan sebagai orang yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuannya? Bandingkanlah dengan usaha dan pengorbanan kita saat ingin mendapatkan ridha manusia; istri, anak, atasan, pemimpin, penguasa dan, manusia seluruhnya. Niscaya kita akan menyadari, bahwa apa yang kita lakukan untuk keridhaan manusia dan keridhaan nafsu masih lebih dominan.
Pertanyaan kedua tentu akan kita jawab bahwa kenikmatan jannahlah yang kita cari. Tapi cobalah membandingkan; kerja kita untuk dunia dan kerja kita untuk akhirat, manakah yang lebih menonjol dari sisi kualitas maupun kuantitasnya? Padahal kerja akhirat kita untuk kenikmatan tiada tara dan tak ada habisnya.
Pertanyaan ketiga, tentu kita akan menjawab bahwa kita lari dari bahaya neraka. Lagi-lagi kita perlu mengoreksi secara jujur. Seberapa gigih usaha kita dalam menghindari neraka. Bandingkanlah dengan usaha kita tatkala takut dan lari dari penyakit, lari dari kemiskinan, atau ketika takut akan hilangnya kehormatan di mata manusia. Dengan memikirkan tiga hal itu, kita akan sadar betapa amal kita belum seberapa. Wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah).