BELAJAR ITU MENYENANGKAN
.
.
Pada waktu sekolah di SD dulu, kita dulu diajarkan
peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian.” Prinsipnya, kesediaan bersusah payah dan
menunda kebahagiaan, demi masa depan yang bahagia.
Prinsip itu sudah seperti menjadi kebenaran umum, yang
menginspirasi kita bekerja keras dan rela mengerjakan hal-hal yang tak
membahagiakan, demi masa depan yang lebih baik.
Pertanyaannya, mungkinkah kita melihat kebahagiaan
dengan cara lain? Bisakah kita menggapai kebahagiaan di masa datang dan
prosesnya tetap membahagiakan? Dalam konteks pendidikan anak, bisakah
keberhasilan pendidikan anak diperoleh dengan cara menyenangkan dalam proses
belajarnya?
Aku percaya itu bisa.
Kebahagiaan adalah sikap hati
Walaupun kondisi eksternal sangat mempengaruhi diri, sesungguhnya kebahagiaan adalah buah dari sikap hati kita. Peristiwa yang sama bisa memiliki makna dan rasa hati yang berbeda. Masalah dapat menjadi inspirasi kelapangan hati (positif), kemenangan bisa menjadi sumber ketidakpuasan (negatif). Itulah sebabnya, spiritualitas di dalam agama apapun selalu menempatkan kelapangan hati (ikhlas) dan rasa terima kasih (syukur) sebagai pondasi kehidupan yang bahagia. Sebab, kebahagiaan itu perkara hati, bukan materi dan hal-hal eksternal.
Walaupun kondisi eksternal sangat mempengaruhi diri, sesungguhnya kebahagiaan adalah buah dari sikap hati kita. Peristiwa yang sama bisa memiliki makna dan rasa hati yang berbeda. Masalah dapat menjadi inspirasi kelapangan hati (positif), kemenangan bisa menjadi sumber ketidakpuasan (negatif). Itulah sebabnya, spiritualitas di dalam agama apapun selalu menempatkan kelapangan hati (ikhlas) dan rasa terima kasih (syukur) sebagai pondasi kehidupan yang bahagia. Sebab, kebahagiaan itu perkara hati, bukan materi dan hal-hal eksternal.
Jadi, sebenarnya kebahagiaan itu lebih merupakan
tanggung jawab pribadi kita. Itulah sebabnya, penting untuk membangun
keikhlasan dan syukur sebagai pondasi kehidupan kita dan anak-anak kita agar
kehidupan kita (dan mereka) selalu penuh kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah proses sekaligus hasil
Kalau kita menunda kebahagiaan di dalam proses yang kita jalani, kemungkinan besar pada saat berhasil kita tetap tak akan bahagia. Sebab, kebahagiaan yang sifatnya eksternal itu sebenarnya bersifat ilusi. Mungkin kita merasakan kenikmatan, tetapi kenikmatan itu diliputi oleh ketakutan kita akan kehilangan faktor eksternal tersebut.
Kalau kita menunda kebahagiaan di dalam proses yang kita jalani, kemungkinan besar pada saat berhasil kita tetap tak akan bahagia. Sebab, kebahagiaan yang sifatnya eksternal itu sebenarnya bersifat ilusi. Mungkin kita merasakan kenikmatan, tetapi kenikmatan itu diliputi oleh ketakutan kita akan kehilangan faktor eksternal tersebut.
Jadi, kita tak perlu menunda kebahagiaan. Kita bisa
berbahagia sekarang, apapun kondisi eksternal yang kita alami. Kalau anak-anak
tertekan dalam proses belajar, berarti ada sebuah hal yang salah. Mungkin
materinya tidak membahagiakan, bisa juga anak tidak menemukan sudut pandang
yang benar dalam pembelajarannya.
Belajar itu menyenangkan
Filosofi berakit-rakit ke hulu memberikan dorongan kita untuk bekerja keras. Itu adalah tuntunan yang benar. Sekarang tinggal menambahkan bahwa bekerja keras itu bukan sebuah hal yang menyakitkan. Belajar itu bukan merupakan beban, tetapi sebuah kebahagiaan karena ada kepuasan dan imbalan intrinsik di dalam proses itu.
Filosofi berakit-rakit ke hulu memberikan dorongan kita untuk bekerja keras. Itu adalah tuntunan yang benar. Sekarang tinggal menambahkan bahwa bekerja keras itu bukan sebuah hal yang menyakitkan. Belajar itu bukan merupakan beban, tetapi sebuah kebahagiaan karena ada kepuasan dan imbalan intrinsik di dalam proses itu.
Bagaimana membuat kerja keras dan belajar itu menjadi
sebuah kesenangan dan kebahagiaan? Itulah tantangan kita sebagai orangtua/guru.
Ada tentang materi, metode, sudut pandang, dan lain-lainnya.
**
Kalau boleh menambahkan peribahasa “berakit-rakit ke
hulu, berenang-renang ke tepian”, aku ingin melengkapinya dengan peribahasa
baru: “Ke pasar beli arang, kembali bawa udang. Belajar dengan riang, berhasil
tanpa curang.”