Rabu, 05 Februari 2014

Ujian dan istidroj

 Ujian dan istidroj

terkadang kita berfikir, berprasangka bahwa orang yang kaya, yang sukses di dunia, punya pangkat, jabatan, kedudukan, dan pujian yang banyak dari seseorang lebih baik dari orang yang kondisinya bertolak belakang dengan semua itu. namun perlu kita pelajari, bahwa semua penilaian tersebut tidak selamanya benar. dan perlu kita tahu juga, bahwa kemaksiatan tidak hanya kepada makhluk Allah semata, ingatlah bahwa kemaksiatan terbesar adalah kemaksiatan berupa syirik kepada Allah.

seseorang terlihat berakhlak baik terhadap manusia bahkan terhadap binatangpun ia sangat menyayangi, namun dibalik semua itu ternyata ia juga melakukan kemaksiatan kepada Allah, sehingga boleh jadi ia akan dipandang baik oleh banyak manusia namun dipandang hina oleh Allah. terlebih parah jika yang melakukan maksiat terhadap Allah tersebut justru secara kehidupan duniawi justru terlihat sukses, kaya dan banyak orang yang suka.membuat dirinya tidak menyadari bahwa yang ia peroleh di dunia bukannya nikmat melainkan istidroj.
bahkan ketika ada yang mengingatkan, ia tidak akan pernah mangkaji ulang semua perbuatannya, apakah termasuk bermaksiat kepada Allah ataukah tidak, dikarenakan harta, jabatan, kedudukan yang sebenarnya merupakan istidroj dari Allah, namun ia menyangkanya sebagai Nikmat. Na'udzubillahi min dzalik.

marilah kita simak paparan berikut ini :

Kapankan seorang hamba itu mengetahui bahwa sebuah musibah adalah ujian ataukah siksaan
إذا ابتلي أحد بمرض أو بلاء سيئ في النفس أو المال ، فكيف يعرف أن ذلك الابتلاء امتحان أو غضب من عند الله ؟
Pertanyaan, “Jika seorang mendapatkan musibah berupa penyakit, ataukah keadaan buruk terkait dengan diri atau hartanya, bagaimanakah cara orang tersebut untuk mengetahui apakah musibah tersebut ujian ataukah bentuk amarah Allah (baca:siksaan atau adzab)?

فأجاب : الله عز وجل يبتلي عباده بالسراء والضراء , وبالشدة والرخاء ، وقد يبتليهم بها لرفع درجاتهم وإعلاء ذكرهم ومضاعفة حسناتهم , كما يفعل بالأنبياء والرسل عليهم الصلاة والسلام والصلحاء من عباد الله ،
Jawaban Ibnu Baz, “Allah itu menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan dan kesusahan, nikmat dan musibah. Terkadang Allah menguji mereka dengan hal-hal di atas untuk memuliakan dan meninggikan derajat mereka serta untuk melipatgandakan pahala mereka. Demikianlah maksud Allah dengan menguji para nabi, rasul dan orang-orang yang shalih.

كما قال النبي صلى الله عليه وسلم : ( أشد الناس بلاء الأنبياء ، ثم الأمثل فالأمثل ) ،
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi kemudian manusia yang lebih rendah derajatnya kemudian manusia yang lebih rendah derajatnya”.

وتارة يفعل ذلك سبحانه بسبب المعاصي والذنوب ، فتكون العقوبة معجلة كما قال سبحانه : ( وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفو عن كثير ) ،
Namun terkadang, Allah memberikan musibah karena maksiat dan berbagai dosa. Sehingga musibah ketika itu adalah hukuman yang disegerakan di dunia (baca:siksaan atau adzan). Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Semua musibah yang menimpa kalian adalah karena dosa yang kalian lakukan dan banyak dosa yang Allah maafkan”(QS asy Syura:30).

فالغالب على الإنسان التقصير وعدم القيام بالواجب ، فما أصابه فهو بسبب ذنوبه وتقصيره بأمر الله ،
Umumnya manusia itu tidak melakukan kewajiban atau tidak melakukan kewajiban sebagaimana seharusnya. Sehingga musibah yang menimpanya adalah disebabkan tumpukan dosa dan kelalaian terhadap perintah Allah.

فإذا ابتلي أحد من عباد الله الصالحين بشيء من الأمراض أو نحوها فإن هذا يكون من جنس ابتلاء الأنبياء والرسل رفعاً في الدرجات , وتعظيماً للأجور , وليكون قدوة لغيره في الصبر والاحتساب
Jika ada hamba Allah yang shalih mendapatkan ujian berupa penyakit atau lainnya maka musibah yang menimpanya adalah sejenis dengan ujian yang dialami oleh para nabi dan rasul. Itulah ujian untuk meninggikan derajat dan memperbesar tabungan pahala. Demikian supaya orang shalih tersebut bisa menjadi teladan bagi yang lain dalam masalah kesabaran dan berharap pahala.

فالحاصل : أنه قد يكون البلاء لرفع الدرجات , وإعظام الأجور , كما يفعل الله بالأنبياء وبعض الأخيار ،
Walhasil, musibah yang menimpa seseorang itu memiliki beberapa kemungkinan.

Pertama, musibah tersebut bertujuan untuk meninggikan derajat orang tersebut, memperbesar tabungan pahalanya. Itulah musibah yang menimpa para nabi dan sebagian orang-orang yang shalih.
وقد يكون لتكفير السيئات كما في قوله تعالى : ( من يعمل سوءً يُجز به

Kedua, musibah itu boleh jadi adalah sebab dihapusnya berbagai dosa, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Barang siapa yang melakukan keburukan (baca:maksiat) maka dia akan mendapatkan balasan karena keburukan yang telah dilakukannya”(QS an Nisa:123).
وقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( ما أصاب المسلم من همٍّ ولا غم ولا نصب ولا وصب ولا حزن ولا أذى إلا كفَّر الله به من خطاياه حتى الشوكة يشاكها
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua kecemasan, kegalauan, rasa capek, sakit, kesedihan dan gangguan yang dialami oleh seorang muslim sampai-sampai duri yang menusuk kakinya adalah penyebab Allah akan menghapus dosa-dosanya”.

وقوله صلى الله عليه وسلم : ( من يرد الله به خيراً يُصِب منه ) ،
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang Allah kehendaki untuk mendapatkan kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya”.

وقد يكون ذلك عقوبة معجلة بسبب المعاصي وعدم المبادرة للتوبة
Ketiga, musibah itu bisa jadi adalah hukuman yang disegerakan (baca: siksaan atau adzab) di dunia disebabkan tumpukan maksiat dan tidak bersegera untuk bertaubat.

كما في الحديث عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( إذا أراد الله بعبده الخير عجَّل له العقوبة في الدنيا ، وإذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافيه به يوم القيامة ) خرجه الترمذي وحسنه ”
Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan hukuman untuknya di dunia. Sebaliknya jika Allah menghendaki keburukan untuk seorang hamba maka Allah akan biarkan orang tersebut dengan dosa-dosanya sehingga Allah akan memberikan balasan untuk dosa tersebut pada hari Kiamat nanti” (HR Tirmidzi dan beliau menilainya sebagai hadits dengan kualitas hasan).
Sumber: Majmu Fatawa wa Maqolat Mutanawi’ah juz 4 hal 370 terbitan Dar Ashda’ al Qosim Buraidah, cetakan keempat tahun 1428 H.

lain halnya dengan istidroj, seseorang yang melakukan maksiat, namun dia semakin kaya, banyak teman, dan banyak orang yang memujinya disebabkan jabatan harta maupun gelar yang ia sandang. dan yang terparah adalah ketika seseorang tersebut bermaksiat terhadap Allah yaitu melakukan kesyirikan, baik kesyirikan yang jelas ataupun tersamar.

Dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)

(HR. Ahmad, no.17349, Thabrani dalam Al-Kabir, no.913, dan disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414).

Istidraj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya. Allah berfirman,

سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُونَ
Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44)

(Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, kata: da-ra-ja).
Semua tindakan maksiat yang Allah balas dengan nikmat, dan Allah membuat dia lupa untuk beristighfar, sehingga dia semakin dekat dengan adzab sedikit demi sedikit, selanjutnya Allah berikan semua hukumannya, itulah istidraj. Allah a’lam
Share: