Rabu, 11 Mei 2011

MENDONGENG, MEMBANGUN KARAKTER ANAK


MENDONGENG, MEMBANGUN KARAKTER ANAK

Pernahkah Anda melihat mata anak Anda membulat penasaran mendengar cerita Anda? Jika pernah, atau bahkan sering, berarti Anda giat memperkokoh karakternya. Jika belum, tidak ada kata terlambat untuk mulai mendongeng.

Ketika televisi belum banyak dimiliki orang, hiburan anak-anak kala itu –selain bermain, tentunya—adalah mendengarkan cerita dari para orang tua di sekitar mereka, entah ayah, ibu, kakek, nenek, atau yang lainnya. Dalam suasana hangat, anak-anak dengan penuh minat dan rasa ingin tahu mendengarkan berbagai cerita yang dibawakan orang-orang tua mereka.



Suasana seperti itu kini jarang sekali kita lihat. Cerita dan dongeng yang disampaikan orangtua berganti dengan tayangan film-film di televisi. Anak-anak terpaku di depan layar televisi, sementara orangtua mengerjakan kegiatan lainnya.

Islam, kaya kisah teladan

Arti ‘dongeng’ sendiri adalah cerita fiktif atau rekaan belaka. Ditambahkan Eka Wardhana, penulis buku anak, bahwa dalam dongeng ada unsur keindahan, kehangatan, juga imajinasi. “Jadi kalau cerita fiktifnya itu seram, horor, penuh kekerasan, menurut saya itu bukan dongeng,” jelas Eka. Dalam dongeng semua makhluk khayalan bisa tercipta, seperti pohon dan binatang yang bisa bicara.

Sementara, untuk sejarah yang berisi cerita kepahlawanan dan teladan kebaikan bisa masuk dalam kategori kisah. Namun, menurutnya pengistilahan ini tidak terlalu penting. Baginya yang terpenting adalah kegiatan bercerita itu sendiri, yaitu bagaimana nilai-nilai kebaikan disampaikan kepada anak melalui cara bercerita yang menarik.

Soal keefektifan cerita dalam membentuk karakter anak tak diragukan lagi --bahkan mampu membangun karakter bangsa—kata Eka,. Berdasarkan sebuah sumber, Eka menyebut betapa lebih majunya Inggris dibanding Spanyol pada masa kolonialisme akibat dongeng dan kisah-kisah kepahlawanan yang sering diceritakan orangtua pada anak-anaknya. Tak heran negara jajahan Inggris di berbagai belahan dunia, dari Asia sampai Afrika, lebih banyak daripada Spanyol.

Bila saja kebiasaan bercerita ini dilakukan masyarakat Muslim dengan tak lupa mengambil kisah-kisah kepahlawanan Rasulullah saw dan para sahabatnya, sangat mungkin masa kejayaan Islam akan cepat kembali.

Betapa lengkap teladan kebaikan yang ada dalam kisah Rasul dan para sahabatnya. “Berbagai karakter ada di situ. Ada kisah tentang jiwa ksatria, jiwa pengusaha. Banyak contohnya dan itu nyata, bukan dongeng! Sementara kalau cerita dari orang Barat itu kan kebanyakan dongeng,” kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung ini. Apalagi bila masyarakat Muslim lebih memperkaya jenis dongeng dengan tetap berpijak kepada ajaran Islam, maka semakin banyak alternatif cerita yang bisa dikembangkan dan diceritakan kepada anak-anak kita.

Dalam Al-Quran kisah-kisah teladan pun bertebaran. Bahkan sebagian besar isi Al-Quran berupa kisah. Kisah kepahlawanan dan kisah penuh motivasi lainnya, tak kurang-kurangnya diurai dalam Al-Quran, Hadits dan sumber lainnya. Namun, herannya entah kenapa generasi Muslim tetap saja melempem. “Mungkin karena orang Islam telah mengabaikan kisah-kisah ini,” imbuh Direktur Studio Rumah Pensil ini prihatin. Tak banyak orangtua yang menceritakan kisah-kisah itu pada anak-anaknya. Yang masuk ke rumah-rumah keluarga Muslim bukan lagi kisah teladan dalam Islam, tapi kisah-kisah rekaan yang tak jelas, semacam Naruto dan sebagainya.

Mengapa mendongeng kurang diminati? Mungkin sebagaimana pola pendidikan lainnya, ia tidak menunjukkan hasil yang instan. Padahal dongeng atau cerita-cerita teladan banyak masuk ke alam bawah sadar, di mana alam bawah sadar inilah yang kemudian paling berperan membentuk karakter atau akhlak seorang anak. “Jadi kalau dongeng itu diceritakan terus menerus, maka yang masuk ke alam bawah sadarnya semakin banyak. Nah, kalau ceritanya yang baik-baik, maka yang masuk ke alam bawah sadarnya tentu yang baik-baik pula. Kalau yang diceritakan orangtua kisah-kisah kepahlawanan, kebaikan, persahabatan, maka akan seperti itulah sifat anak nantinya,” jelas Eka.

Bayangkan saja kalau yang masuk ke alam bawah sadar anak justru cerita dan materi yang penuh kekerasan dan vulgar, maka akhlak atau karakter anak seperti apa yang akan tercipta kemudian?

Menjalin kedekatan antara orangtua dan anak

Saat mendongeng atau bercerita selain terjadi transfer nilai, terjalin juga kedekatan antara orangtua dan anak. Ketika mendengar dongeng atau cerita lainnya dari orangtua, anak-anak akan semakin merasa dekat dan terikat dengan orangtuanya. “Saat mendengarkan dongeng, anak-anak akan terikat dengan tokoh dalam cerita dan orang yang bercerita (dalam hal ini orangtua–red). Ikatan emosionalnya itu kuat. Kalau dengan televisi, mereka tidak akan terikat sedemikian kuat,” papar ayah 4 anak ini.

Bagi anak, kedekatan ini dapat mengalahkan kegiatan lainnya. Menurut Eka, dengan amat mudah anak-anak akan berpaling dari televisi, game, dan sebagainya demi mendengarkan orangtuanya bercerita. Apalagi bila selama bercerita orangtua juga menyentuh dan memeluk anak, membelai rambutnya, kehangatan dan kasih sayang tentu akan mengalir. Sentuhan ini selain menambah kedekatan juga akan membuat anak bertambah cerdas. “Setiap kali dipeluk, anak akan merasa bahagia. Nah, perasaan bahagia ini akan membuat anak mudah menyerap informasi dan membuat neuron (sel-sel syaraf dan percabangannya–red) anak bersambung terus menerus. Makanya sering dikatakan kalau anak dipeluk, dia akan bertambah cerdas karena koneksi neuronnya bertambah banyak,” terang pria kelahiran Jakarta, 38 tahun silam ini.

Selama orangtua bercerita, acap kali anak bertanya ini itu. Entah bertanya tentang tokoh, kejadian dalam cerita, dan sebagainya. Ini mengindikasikan telah terjadi komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Bila selama ini hal itu mungkin belum tercipta, dengan mendongeng dan ‘sesi’ tanya jawab di dalamnya akan melancarkan saluran komunikasi yang tersumbat.

Kegiatan mendongeng ini pun bisa mengembangkan imajinasi anak. Eka mencontohkan, ketika orangtua memulai cerita dengan kalimat, “Dulu, ada seorang raksasa…,” maka segera saja daya imajinasi anak bekerja dan membayangkan sosok raksasa tersebut. Selama orangtua bercerita, imajinasi anak terus berlarian mengikuti jalan cerita. Pengembangan daya imajinasi ini penting sebagai dasar mengembangkan kreativitas anak, dan ini bisa didapat dari kegiatan mendongeng.

Eka lalu menuturkan bahwa kegiatan mendongeng pun akan mendorong anak untuk gemar membaca. “Anak yang sering didongengkan waktu kecil, hampir pasti akan senang membaca,” katanya. Setelah mendengar dongeng, anak-anak akan punya keinginan untuk membaca sendiri kisah tersebut dari buku-buku. Sekali dia merasakan keasyikan membaca, mereka akan terus senang membaca.

Kegemaran membaca ini tentu saja penting untuk membuka dan mengembangkan ilmu dan wawasan anak-anak pada berbagai hal. “Tidak ada orang besar di dunia ini yang tidak senang membaca,” imbuh Eka seraya menambahkan ‘membaca’ di sini tak terbatas pada membaca buku, tapi juga ‘membaca’ alam dan lingkungan sekitar.

Sebentar, tetapi sering

Banyak orangtua dan guru yang tidak membiasakan mendongeng karena merasa tak bisa bercerita, apalagi bila mereka harus bercerita dengan gaya yang menarik. Untuk mengatasi kendala ini, Eka menyarankan agar, pertama, orangtua harus mulai ‘belajar’ bicara kepada anak dengan lebih hangat. “Berikan lebih banyak pujian ketimbang kritikan. Kalau anak diperlakukan dengan hangat, dia akan menjadi orang yang hangat. Sementara kalau anak diperlakukan dengan keras, mereka akan jadi keras,” kata Eka. Bicara dengan kehangatan ini akan membuat kedekatan dan keakraban hingga kemudian dalam kondisi itu orangtua akan mudah menceritakan apa saja pada anak, termasuk mendongeng. Anak-anak pun akan terbuka kepada orangtuanya.

Kedua, agar orangtua bisa bercerita tentu saja orangtua harus banyak membaca buku. Apalagi biasanya buku cerita anak-anak itu tidak terlalu tebal, jadi tidak menghabiskan waktu orangtua untuk membaca dan menceritakannya kembali kepada anak-anak. Untuk memulai, orangtua memang bisa mengambil cerita dari buku, selanjutnya apa saja yang terjadi di sekitar kita bisa menjadi cerita. Semua kejadian bisa diceritakan secara menarik, terutama bila orangtua telah terbiasa bercerita.

Sekali bercerita, tak perlu terlalu lama. Sekitar 15 menit sampai 20 menit, cukuplah, karena untuk usia tertentu, misalnya usia balita, perhatian anak-anak cepat teralihkan kepada hal lainnya. Tapi untuk usia yang lebih besar, bisa jadi waktu bercerita bisa sampai 1 jam atau lebih, apalagi bila ceritanya menarik.

Menurut Eka, yang terpenting bukanlah lamanya waktu bercerita. “Yang penting adalah kualitas dan kuantitasnya. Walau cuma beberapa menit, tapi dilakukan setiap hari, akan lebih efektif dibanding satu atau dua jam tetapi dilakukan hanya sekali sebulan,” urai Eka.

Saat yang tepat untuk bercerita pun tak mesti menjelang tidur sebagaimana yang selama ini kita pahami sebagai waktu mendongeng. “Kalau anak mau tidur malam biasanya banyak sekali hambatannya, entah sudah sangat mengantuk, ada PR yang belum selesai, orangtua yang capek karena baru pulang dan sebagainya,” kata Eka. Maka untuk mendongeng, tak perlu menunggu waktu tidur. Bercerita atau mendongenglah kapan pun selagi sempat.

Jadi, melihat berbagai keutamaan mendongeng bagi perkembangan anak, semestinya orangtua dan guru mulai membiasakan diri untuk mendongeng kapan saja. Jangan mau dikalahkan televisi atau bermacam bentuk game, karena pada dasarnya anak lebih suka berdekatan dan mendengarkan cerita dari orangtuanya sendiri.
(Asmawati/wawancara Didi Muardi)

Sumber :
Share: